PROLOG
Kamera… Action!
Pria pertama, Opan, dengan mawar merah mungilnya, menyelipkan cincin emas putih ke jari kelingking mempelai wanita. Pas.
Pria kedua, Atha, dengan mawar putih mungilnya, menyelipkan cincin emas putih ke jari manis mempelai wanita. Pas.
Pria ketiga Leo, dengan mawar kuning mungilnya, menyelipkan cincin emas putih ke jari tengah mempelai wanita. Pas.
Pria keempat, Posan, dengan mawar hijau mungilnya, menyelipkan cincin emas putih ke jari telunjuk mempelai wanita. Pas.
Pria kelima, Yudha, dengan mawar pink mungilnya, menyelipkan cincin emas putih ke ibu jari mempelai wanita. Pas.
Berikutnya… Pria keenam, Erik. Pria ketujuh, Mario. Pria kedelapan, Nico. Pria kesembilan, Sutan. Pria kesepuluh, Anji.
Mempelai wanita, memamerkan kesepuluh cincin emas putihnya hingga menutupi wajahnya ke kamera para wartawan.
Puluhan sinar bliz menyerang. Sepuluh jemari mempelai wanita tersibak. Wajah mempelai wanita pun terlihat…
Bridesmaid with 10 rings.
It’s me. Melaney!
BAB SATU
Sinar bliz terus mengusikku. Menyadarkanku. “Aduh, mengganggu privacy gue banget, deh.” Aku mengerang sambil merenggangkan tubuh, sekaligus menepis benda keras yang mengeluarkan cahaya menyilaukan itu dari depan wajahku. Serbuannya betul- betul mengusik.
“Gue mau mengabadikan malaikat tidur, babe.”
“You wish.” Hardikku cepat. Cahaya berpendar- pendar, coba kuhalau dengan kedua tanganku. “Memangnya tiket ke surga dijual?” Sambungku lagi, berusaha keras mengabaikannya dan memeluk sesuatu yang empuk, familiar. “Jangan bikin gue marah, yah.”
“Interistin’ question. How could you forget, babe. You’ll promise. I don’t have time again, pamerannya tinggal seminggu lagi, nih.”
“Mind ur own business, brotha… Ada hal- hal yang harus gue lakukan dan… gue… ngantuk…” Bau tajam aftershave mas Novan kalahkan nuanasa harum jeruk nipis yang lingkupi duniaku, seperti biasa, “Kenapa lo masih di sini, sih?”
“Liat foto- foto lo yang udah gue edit untuk acara, yuk. Please…”
Aku menarik napas panjang. “Baiklah… Tapi, nggak sekarang, mas. Lo nggak akan mendapatkan gue saat ini.” Berusaha pejamkan mata kembali. Namun, tangan yang memeluk bahu belakangku buatku tak bisa terlelap lagi. “Apa- apaan…” Samar, ada yang menyibakkan selimut, melingkari pinggangku, mengangkatku, dan… “Berhentilah mencoba, mas. Gue lagi sakit, tau.” Uhuk, uhuk, uhuk… Alih- alih melanjutkan tidur, sekarang betul- betul tersadar. “Timing- nya nggak tepat, deh.”
“Gue rasa lo benar…” Mas Novan tergelak, “Jangan cemas, orang percaya kok kalo lo sakit, babe.”
“Apa itu tadi lelucon?” Ah, kejengkelan kadang tak terhindarkan. Hidungku terantuk punggungnya. Bagai sekarung beras di tangan kuli panggul, “I don’t care.” Acuhku, tidak menggubrisnya. Saat melintasi ruangan lain, hanya samar menyadari kalau aku sudah tidak berada di kamarku lagi. “Terserahlah, mas mau membawa gue ke mana…”
“Gue yakin lo bisa baca pikiran gue… Pantainya… Sangat indah…”
-1-
(Amy Mini)
No comments:
Post a Comment